BAB
II
PEMBAHASAN
I.
TINJAUAN
TEORI MEDIS
A. NIFAS
1. Pengertian
Masa nifas adalah masa yang dimulai
setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat alat kandungan kembali seperti
keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlansung selama kira-kira 6 minggu
(Sulistyawati, 2009; h. 1)
Masa nifas adalah masa segera
setelah kelahiran sampai 6 minggu. Selama masa ini, saluran reproduktif
anatominya kembali ke keadaan tidak hamil yang normal (Rukiyah dkk, 2011; h. 2).
2. Tujuan
Asuhan Masa Nifas
Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan
untuk :
a. Meningkatkan
kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi.
11
|
b. Pencegahan,
diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu.
Dengan diberikannya asuhan pada ibu nifas,
kemungkinan munculnya permasalahan dan komplikasi akan lebih cepat terdeteksi
sehingga penangananpun dapat lebih maksimal.
c. Merujuk
ibu ke asuhan tenaga ahli jika perlu.
Meskipun ibu dan keluarga mengetahui ada
permasalahan kesehatan pada ibu nifas yang memerlukan rujukan, namun tidak
semua keputusan yang diambil tepat, misalnya mereka lebih memilih untuk tidak
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan karena pertimbangan tertentu. Jika
bidan senantiasa mendampingi pasien dan keluarga maka keputusan tepat dapat
diambil sesuai dengan kondisi pasien sehingga kejadian mortalitas dapat
dicegah.
d. Mendukung
dan memperkuat keyakinan ibu serta memungkinkan ibu untuk mampu melaksanakan
perannya dalam situasi keluarga dan budaya yang khusus.
Pada saat memberikan asuhan nifas,
keterampilan seseorang bidan sangat dituntut dalam memberikan pendidikan
kesehatan terhadap ibu dan keluarga. Keterampilan yang harus dikuasai oleh
bidan, antara lain berupa materi pendidikan yang sesuai dengan kondisi pasien,
teknik penyampaian, media yang digunakan, dan pendekatan psikologis yang
efektif sesuai dengan budaya setempat. Hal tersebut sangat penting untuk
diperhatikan karena banyak pihak yang beranggapan bahwa jika bayi telah lahir
dengan selamat, serta secara fisik ibu dan bayi tidak ada masalah maka tidak
perlu lagi dilakuakn pendampingan bagi ibu. Padahal bagi para ibu(terutama ibu
baru), beradaptasi dengan peran barunya sangatlah berat dan membutuhkan suatu
kondisi mental yang maksimal.
e. Imunisasi
ibu terhadap tetanus.
Dengan pemberian asuhan maksimal pada ibu
nifas, kejadian tetanus dapat dihindari, meskipun untuk saat ini angka kejadian
tetanus sudah banyak mengalami penurunan.
f. Mendorong
pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta peningkatan
pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak.
Saat bidan memberikan asuhan pada
masa nifas, materi dan pemantauan yang diberikaan tidak hanya sebatas pada
lingkup permasalah ibu, tapi bersifat menyeluruh terhadap ibu dan anak.
Kesempatan untuk berkonsultasi tentang kesehatan, termasuk kesehatan anak dan
keluarga akan sangat terbuka. Bidan akan mengkaji pengetahuan ibu dan keluarga
mengenai upaya mereka dalam rangka peningkatan kesehatan keluarga. Upaya
pengembangan pola hubungan psikologis yang baik antara ibu, anak, dan keluarga
juga dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan asuhan ini.
(Sulistyawati, 2009; h. 2 sampai 3)
3. Tahapan
Masa Nifas
Masa nifas dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu puerperium dini, puerpurium intermadial,dan remote puerperium. Dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Puerperium
dini
Pueperium dini merupakan masa kepulihan,
yang dalam hal ini ibu tetap diperbolehkan berdiri dan berjalan- jalan. Dalam
agam islam, dianggap bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
b. Puerperium
intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa
kepulihan menyeluruh alat- alat genetalia, yang lamanya sekitar 6 sampai 8
minggu.
c. Remote
puerperium
Remote puerperium merupakan masa yang
diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau
waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat
berlansung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
(Sulistyawati, 2009; h. 5)
4. Kebijakan
Program Nasional Masa Nifas
Table 2.1
Program Masa Nifas
Kunjungan
|
Waktu
|
Tujuan
|
1
|
6-8 jam setelah persalinan
|
1.
Pencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
2.
Mendeteksi dan merawat penyebab lain
prdarahan;rujuk jika perdarahan berlanjut.
3.
Memberikan konseling pada ibu atau salah satu
anggota keluarga mengenai bagaimana cara mencegah perdarahan masa nifas
karena atonia uteri.
4.
Pemberian ASI awal
5.
Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
6.
Menjaga bayi agar tetap sehat dengan cara mencegah
hypotermi
7.
Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia
harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir selama 2 jam pertama setelah
klahiran atau sampai ibu dan bayinya dalam keadaan stabil.
|
2
|
6 hari setelah persalinan
|
1.
Memastikan involusi
uterus berjalan normal:uterus berkontraksi, funus dibawah umbilicus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau.
2.
Menilai adanya tanda-tanda demam,infeks, atau
perdarahan abnormal.
3.
Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan,
dan istirahat.
4.
Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak
mmperlihatkan tanda tanda penyulit.
5.
Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada
bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat, dan merawat bayi sehari-hari.
|
3
|
2 minggu setelah prsalinan
|
Sama seperti diatas
|
4
|
6 minggu setelah persalinan
|
1.
Menanyakan pada ibu tentang kesulitan-kesulitan
yang ia atau bayinya alami.
2.
Memberikan konseling Kb secara dini
|
Sumber: Sulistyawati, 2009; h. 6
5. Perubahan
Fisiologis Masa Nifas
a. Perubahan
sisitem reproduksi
1) Uterus
a) Pengerutan
rahim (involusi)
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi
sebelum hamil. Dengan involusi uterus
ini, lapisan luar dari desidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi neurotic
(layu/ mati). Perubahan ini dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan palpasi untuk meraba TFU-nya.
Proses
involusi uterus adalah sebagai berikut :
(1)
Autolysis
Autolysis merupakan
proses penghancuran diri sendiri yang terjadi didalam otot uteri. Enzim
proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah sempat mengendur hingga
10 kali panjangnya dari semula dan lima kali lebar dari semula selama
kehamilan. Sitoplasma sel yang berlebihan akan tercerna sendiri sehingga
tertinggal jaringan fibro elastis dalam jumlah renik sebagai bukti kehamilan.
(2)
Atrofi jaringan
Jaringan yang
berpoliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah besar, kemudian mengalami
atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi estrogen yang menyertai
pelepasan plasenta. Selain perubahan atrofi pada otot – otot uterus, lapisan
desidua akan mengalami atrofi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal
yang akan beregenerasi menjadi endometrium yang baru.
(3)
Efek
oksitosin (kontraksi)
Hormon oksitosin yang
terlepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu
proses hemostatis. Kontraksi dan retraksi otot uterus akan mengurangi suplai
darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi suplai darah keuterus.
Proses ini akan membantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta serta
mengurangi pendarahan. Luka bekas perlekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu
untuk sembuh total. (Sulistyawati, 2009; h. 71 sampai75)
Tabel 2.2
Proses
Involusi
Uterus
Involusi
|
Tinggi
Fundus Uteri
|
Berat
Uterus (gr)
|
Keadaan
Serviks
|
Bayi lahir
|
Setinggi
pusat
|
1000
|
|
Uri lahir
|
2 jari
dibawah pusat
|
750
|
Lembek
|
Satu minggu
|
Pertengahan
pusat dan simpisis
|
500
|
Beberapa
hari setelah postpartum dapat dilalui 2 jari.
Akhir minggu
pertama dapat dimasuki 1 jari.
|
Dua minggu
|
Tak teraba
diatas simpisis
|
350
|
|
Enam minggu
|
Bertambah
kecil
|
50-60
|
|
Delapan
minggu
|
Sebesar
normal
|
30
|
Sumber:
Vivian dkk; 2011; h. 57)
Menurut
Ambarwati dkk (2009; h. 77) involusi uteri dari luar dapat diamati
yaitu dengan memeriksa fundus uteri dengan cara:
(1)
Segera setelah persalinan, tinggi fundus
uteri 2 cm dibawah pusat, 12 jam kemudian kembali 1 cm diatas pusat dan menurun
kira- kira 1 cm setiap hari.
(2)
Pada hari kedua setelah persalinan
tinggi fundua uteri 1 cm dibawah pusat. Pada hari ketiga sampai hari keempat
tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat. Pada hari kelima sampai hari ketujuh
tinggi fundus uteri pertengahan antara pusat dan simpisis. Pada hari kesepuluh
tinggi fundus uteri tidak teraba.
b) Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim
selama masa nfas. Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus. Lochea mempunyai reaksi basa/ alkalis yang dapat
membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada
vagina normal. Lochea berbau amis atau anyir dengan volume yang berbeda- beda
pada setiap wanita. Lochea yang berbau dan tidak sedap menandakan adanya
infeksi. Lochea mempunyai perubahan warna dan volume karena adanya proses
involusi. (Sulistyawati, 2009; h. 76).
Berikut Ini Adalah beberapa jenis
lokia yang terdapat pada wanita pada masa nifas yaitu :
(1) Lokia
rubra (cruenta)
Lokia ini keluar pada
hari pertama sampai hari keempat masa post partum. Cairan yang keluar berwarna
merah karena terisi darah segar, jaringan sisa-sia plasenta, dinding rahim,
lemak bayi, lanugo (rambut bayi), dan
mekonium.
(2) Lokia
sanguilenta
Berwarna merah
kecokelatan dan berlendir, serta berlansung, dari hari keempat dan hari ketujuh
post partum.
(3) Lokia
serosa
Lokia ini berwarna
kuning kecoklatan karena mngandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi
plasenta. Keluar pada hari ketujuh sampai hari ke-14 pascapersalinan.
(4) Lokia
alba
Lokia ini mengandung
leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput lender serviks, dan serabut jaringan
yang mati. Lokia alba ini dapat berlansung selama 2 sampai 6 minggu post
partum.
(5) Lokia
Purulenta
Terjadi infeksi, keluar
cairan seperti nanah dan berbau busuk.
Lochiostatis, lochea
yang tidak lancar keluarnya (Sulistyawati, 2009; h. 76).
c) Perubahan
di serviks dan Segmen Bawah Uterus
Setelah kelahiran, miometrium
segmen bawah uterus yang sangat menipis berkontraksi dan bertraksi tetapi tidak
sekuat korpus uteri. Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor,
terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri
berkontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga perbatasan antara
korpus dan serviks uteri berbentuk cincin (Rukiyah dkk, 2011; h. 60).
d) Vulva
dan vagina
Vulva dan vagina mengalami
penekanan, serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi.
Dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap dalam
keadaan kendur. Setelah 3 minggu, vulva dan vagina kembali keadaan tidak hamil
dan rugae dalam vagina.
e) Perenium
Segera setelah melahirkan, perenium
menjadi kendur karena sebelumnya terenggang oleh tekanan bayi yang bergerak
maju. Pada post natal hari kelima,
perineum sudah mendapatkan kembali sebagian tonus-nya,
sekalipun tetap kendur daripada keadaan sebelum hamil (Sulistyawati, 2009; h.
78 sampai 79).
Perineum
adalah daerah antara vulva dan anus. Biasanya setelah melahirkan, perineum
menjadi agak bengkak atau edema dan mungkin ada luka jahitan bekas robekan atau
episiotomi, yaitu sayatan untuk memperluas pengeluaran bayi (Maryunani, 2009; h.
15).
Penyembuhan
luka perineum adalah mulai membaiknya luka perineum dengan terbentuknya
jaringan baru yang menutupi luka perineum dalam jangka waktu 6 sampai 7 hari
post partum. Kriteria penilaian luka yang pertama dikatakan baik, jika luka
kering,perineum menutup dan tidak ada tanda infeksi (merah, bengkak, panas,
nyeri, fungsioleosa). Kedua, dikatan sedang, jika luka basah, perineum menutup,
tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri,fungsioleosa).
Ketiga dikatakan buruk, jika luka basah, perineum menutup/membuka dan ada
tanda-tanda infeksi merah,bengkak, panas, nyeri, fungsioleosa (http://digilib.unimus.ac.id).
b. Perubahan
Sistem Pencernaan
Biasanya, ibu akan mengalami
konstipasi setelah persalinan. Hal ini disebabkan karena pada waktu persalinan,
alat pencernaan mengalami tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong,
pengeluaran cairan berlebih pada waktu persalinan, kurangnya asupan cairan dan
makanan, serta kurangnya aktifitas tubuh.
Supaya buang air besar kembali
normal, dapat diatasi diet tinggi serat, peningkatan asupan cairan, dan
ambulasi awal. Bila ini tidak berhasil, dalam 2 sampai 3 hari dapat diberikan
obat laksansia.
Selain konstipasi, ibu juga
mengalami anoreksia akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan
mempengaruhi perubahan sekresi, serta penurunan kebutuhan kalori yang
menyebabkan kurang nafsu makan.
c. Perubahan
Sistem Perkemihan
Setelah proses persalinan berlangsung,
biasanya ibu akan sulit untuk buang air kecil dalam 24 jam pertama. Kemungkinan
penyebab dari keadaan ini adalah terdapat spasme
sfinkter dan edema leher kandung
kemih sesudah bagian ini mengalami kompresi (tekanan) antara kepala janin dan
tulang pubis selama persalinan berlansung.
Urine dalam jumlah besar akan
dihasilkan dalam 12 sampai 36 jam /postpartum.
Kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami penurunan
yang mencolok. Keadaan tersebut disebut “dieresis”. Ureter yang berdilatasi
akan kembali normal dalam 6 minggu (Sulistyawati, 2009; h. 78 sampai 79).
d. Perubahan
Sistem Muskuloskeletal
Ligamen, fasia, dan diafragma
pelvis yang meregang pada waktu persalinan, setelah bayi lahir, secara
berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tidak jarang uterus
jatuh kebelakang dan menjadi retrofleksi, karena ligamen rotundum menjadi
kendor. Stabilisasi secara sempurna terjadi pada.
e. Perubahan
Sistem Endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat
perubahan pada sistem endokrin, terutama pada hormon-hormon yang berperan dalam
proses tersebut.
1)
Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari
kelenjar otak bagian belakang. Selama tahap ketiga persalinan, hormon oksitosin
berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga
mencegah pendarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi
oksitosin. Hal tersebut membantu uterus kembali ke bentuk normal.
2)
Prolaktin
Menurunnya kadar estrogen
menimbulkan terangsangnya kelenjar pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan
prolaktin, hormon ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang
produksi susu.
3)
Estrogen dan Progesteron
Selama hamil volume darah normal
meningkat walaupun mekanismenya secara penuh belum dimengertii. Diperkirakan
bahwa tingkat estrogen yang tinggi memperbesar hormon antidiuretik yang
meningkatkan volume darah. Di samping itu, progesteron memengaruhi otot halus
yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat
memengaruhi saluran kem h, ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineum
dan vulva, serta vagina. (Saleha, 2009; h. 60).
f. Perubahan
Tanda-Tanda Vital
1)
Suhu badan
Suhu tubuh wanita inpartu tidak
lebih dari 37,2derajat Celsius. sesudah partus dapat naik kurang dari 0,5 derajat
Celsius dari keadaan normal, namun tidak akan melebihi 8 derajat Celsius.
Sesudah dua jam pertama melahirkan umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila
suhu ibu lebih dari 38 derajat Celsius, mungkin terjadi infeksi pada klien.
2)
Nadi dan pernafasan
Denyut nadi normal pada orang
dewasa 60 sampai 80 x/menit setelah partus, dan suhu tubuh tidak panas mungkin
ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada penderita. Pada masa
nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan
pernafasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti
keadaan semula.
3)
Tekanan darah
Pada beberapa
kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya
apabila tidak terdapat penyakit – penyakit lain yang menyertai dalam ½ bulan
tanpa pengobatan. (Saleha, 2009; h. 61).
g. Perubahan
Sistem Kardiovaskuler
Setelah
terjadi diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar estrogen, volume darah
kembali kepada keadaan tidak hamil. Jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin
kembali normal pada hari kelima. Meskipun kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat
besar selama masa nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi daripada
normal. Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dengan demikian daya
koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang
cermat dan penekanan pada ambulasi dini.
h. Perubahan Sistem Hematologi
Pada
ibu masa nifas 72 jam pertama biasanya akan kehilangan volume plasma daripada
sel darah, penurunan plasma ditambah peningkatan sel darah pada waktu kehamilan
diasosikan dengan peningkatan hematoktir dan haemoglobin pada hari ketiga sampai tujuh hari
setelah persalinan. (Rukiyah dkk, 2011; h. 71)
i.
Perubahan Payudara
Pada semua wanita yang telah
melahirkan proses laktasi terjadi secara alami. Proses menyusui mempunyai dua
mekanisme fisiologi, yaitu produksi susu dan sekresi susu atau let down.
Selama Sembilan bulan kehamilan,
jaringan payudara tumbuh dan menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan
bagi bayi baru lahir. Setelah melahirkan, ketika hormon yang dihasilkan
plasenta lalu mengeluarkan hormon prolaktin. Sampai hari ketiga setelah
melahirkan, efek prolaktin pada payudara mulai bisa dirasakan. Pembuluh darah payudara
menjadi bengkak terisi darah, sehingga timbul rasa hangat, bengkak, dan sakit.
Sel-sel acini yang menghasilkan ASI juga mulai berfungsi. Ketika bayi menghisap
putting, refleks saraf meransang untuk mengsekresi hormon oksitosin. Oksitosin
merangsang reflek let down (mengalirkan),
sehingga menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus aktiferus payudara ke duktus yang
terdapat pada putting. Ketika ASI dialirkan karena isapan bayi atau dengan
dipompa sel-sel acini terangsang untuk menghasilkan ASI lebih banyak. Refleks
ini dapat berlanjut sampai waktu yang cukup lama (Saleha, 2009; h. 58).
B. Bendungan
ASI
1. Pengertian
Bendungan ASI adalah terjadinya pembengkakan pada
payudara karena peningkatan aliran vena dan limfe sehingga menyebabkan
bendungan ASI dan rasa nyeri disertai kenaikan suhu badan. Bendungan ASI dapat
terjadi karena adanya penyempitan duktus laktiferus pada payudara ibu dan dapat
terjadi pula bila ibu memiliki kelainan putting susu( misalnya putting susu
datar, terbenam dan cekung).
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kadar estrogen dan
progestron turun dalam 2 sampai 3 hari. Dengan ini faktor dari hipotalamus yang
menghalangi keluarnya prolaktin waktu hamil, dan sangat dipengaruhi oleh
estrogen, tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin oleh hypopisis.
Hormon ini menyebabkan alveolus- alveolus kelenjar mamma terisi dengan air
susu, tetapi untuk mangeluarkannya dibutuhkan reflex yang menyebabkan kontraksi
sel-sel mioepitelial yang mengelilingi alveolus dan duktus kecil
kelenjar-kelenjar tersebut. Pada permulaan nifas apabila bayi belum mampu
menyusun dengan baik, atau kemudian apabila terjadi kelenjar-kelenjar tidak
dikosongkan dengan sempurna, terjadi pembendungan air susu (Rukiyah dkk, 2010;
h. 345).
2. Faktor-faktor
penyebab Bendungan ASI
a.
Pengosongan mamae yang tidak sempurna
(dalam masa laktasi, terjadi peningkatan produksi ASI pada ibu yang produksi
ASI nya berlebihan, apabila bayi sudah kenyang dan selesai menyusu, dan
payudara tidak dikosongkan, maka masih terdapat sisa ASI didalam payudara. Sisa
ASI tersebut jika tidak dikeluarkan dapat menimbulkan bendungan ASI).
b.
Faktor hisap bayi yang tidak aktif (pada
masa laktasi, bila ibu tidak menyusukan bayinya sesering mungkin atau jika bayi
tidak aktif menghisap, maka akan menimbulkan bendungan ASI).
c.
Faktor menyusui bayi yang tidak benar (
teknik yang salah dalam menyusui dapat mengakibatkan puting susu menjadi lecet
dan menimbulkan rasa nyeri pada saat bayi menyusu. Akibatnya ibu tidak mau
menyusui bayinya dan terjadi bendungan ASI).
d.
Puting susu terbenam ( putting susu
terbenam akan menyulitkan bayi dalam menyusu. Karena bayi tidak dapat menghisap
putting dan areola, bayi tidak mau menyusu dan akibatnya terjadi bendungan
ASI).
e.
Putting susu terlalu panjang(putting
susu yang panjang menimbulkan kesulitan pada saat bayi menyusu karena bayi
tidak dapat menghisap areola dan meransang sinus laktiferus untuk megeluarkan
ASI. Akibatnya ASI tertahan dan menimbulkan bendungan ASI) (Rukiyah dkk, 2010;
h. 346).
3. Tanda
dan gejala bendungan ASI
Tanda dan gejala bendungan ASI antara lain dengan ditandainya
dengan pembengkakan payudara bilateral dan secara palpasi secara keras, kadang
terasa nyeri serta seringkali disertai peningkatan suhu badan ibu, tetapi tidak
terdapat tanda- tanda kemerahan dan demam (Prawiroharjo, 2010; h. 652).
Gejala yang biasa terjadi pada bendungan ASI antara lain
payudara penuh terasa panas, berat dan keras, terlihat mengkilat meski tidak
kemerahan.ASI biasanya mengalir tidak lancar, namun ada pula payudara yang
terbendung membesar, membengkak dan sangat nyeri, puting susu teregang menjadi
rata. ASI tidak mengalir dengan mudah dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap
ASI. Ibu kadang-kadang menjadi demam, tapi biasanya akan hilang dalam 24 jam (http://andrianinuralfadilah.
blogspot.com
).
4. Penanganan
bendungan ASI
a.
Penanganan yang dilakukan yang paling
peting adalah dengan mencegah terjadinya payudara bengkak, susukan bayi segera
setelah lahir, susukan bayi tanpa jadwal, keluarkan sedikit ASI sebelum
menyusui agar paudara lebih lembek, keluarkan ASI dengan tangan atau pompa bila
produksi melebihi kebutuhan ASI.
b.
Laksanakan perawatan payudara setelah
mlahirkan, untuk mengurangi rasa sakit pada payudara berikan kompres dingin dan
hangat dengan handuk secara bergantian kiri dan kanan, untuk memudahkan bayi
menghisap atau menangkap putting susu berikan kompres sebelum menyusui, untuk
mengurangi bendungan di vena dan pembuluh getah bening dalam payudara lakukan
pengerutan yang dimulai dari putting kearah korpus mamae, ibu harus rileks,
pijat leher dan punggung belakang.
Perawatan payudara, payudara merupakan sumber
yang akan menjadi makanan utama bagi anak. Karena itu jauh sebelumnya harus
memakai BH yang sesuai dengan pembesaran payudara yang sifatnya menyokong
payudara dari bawah suspension bukan menekan dari depan.
Alat-alat yang diperlukan
untuk perawatan payudara adalah kapas dalam kom kecil, 2 buah waskom yang
berisi air hangat dan air dingin, baby oil, waslap 2 buah, handuk besar 2 buah,
sarung tangan 1 buah, bengkok 1 buah, dan baju ganti set.
Cara kerja dalam
perawatan payudara adalah :
1)
Bantu ibu untuk membuka pakaian bagian atas dan
dalam secara sopan.
2)
Berikan kompres kapas yang berisikan baby oil
pada putting susu selama dua menit.
3)
Bersihkan putting susu pada kotoran.
4)
Kemudian oleskan baby oil pada kedua tangan
pemeriksa.
5)
Letakkan tangan pada awal pemijatan dengan penutup
payudara dibagian pinggir.
6)
Pegang payudara kanan dengan tangan kanan
kemudian dengan 3 jari tangan kiri lakukan gerakan memutar atau spiral dari
pangkal kedepan menuju areola, lakukan sebanyak 30 kali pada payudara kanan dan
kiri.
7)
Lakukan gerakan yang sama dengan nomer 6 tetapi
dengan menggunakan 4 jari.
8)
Dengan menggunakan telapak tangan lakukan
gerakan memutar dari dalam keluar atau dari luar kedalam sebanyak 30 kali.
9)
Sanggah payudara dengan tangan kanan kemudian
dengan tangan kiri dengan 4 jari dirapatkan dengan menggerakan jari kelingking
menekan dengan kuat kedepan menujuh areola pada payudara kanan dan kiri.
10) Sanggah
payudara kanan dengan kanan kemudian tangan kiri menggenggam dengan menggunakan
buku-buku jari menekan dengan kuat kedepan menuju areola, lakukan 30 kali
masing- masing pada payudara kanan dan kiri.
11) Lakukan
pemijitan pada putting payudara kearah luar dengan menggunakan ibu jari dengan
telunjuk tangan kiri dan kanan (diamond).
12) Dengan
menggunakan telapak tangan kanan dan kiri dengan jari-jari dirapatkan lekukan
gerakan memijat payudara secara berlawanan arah.
13) Kompres
payudara kanan dan kiri dengan kompres hangat dan kompres dingin secara
bergantian sebanyak 5 langkah diakhiri dengan kompres hangat (kompres hangat
selama 2 menit, kompres air dingin selama 1 menit).
14) Lakukan
prasat gerakan Hoffman dan penggunakan pompa putting pada putting pendek dan
terbenam.
15) Keringkan
payudara dengan handuk.
16) Bantu
ibu mengenakan pakaian dan bereskan alat- alat.
17) Cuci
tangan.
Lakukan teknik menyusui, dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Sebelum
menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada putting susu dan
areola disekitarnya. Cara ini mempunyai manfaat sebagai desinfektan dan menjaga
kelembaban putting susu.
2) Bayi
diletakan menghadap perut ibu/ payudara
3) Ibu
duduk atau berbaring dengan santai, bila duduk lebih baik menggunakan kursi
yang rendah (kaki tidak menggantung) dan punggung ibu bersandar pada sandaran
kursi.
4) Bayi
dipegang pada belakang bahunya dengan satu lengan, kepala bayi terletak pada
lengkung siku ibu (kepala tidak boleh mengenadah) dan bokong bayi ditahan
dengan telapak tangan ibu.
5) Satu
tangan bayi diletakan dibelakang badan ibu, dan yang satu didepan.
6) Perut
bayi menempel perut ibu, kepala bayi menghadap payudara (tidak hanya
membelokkan kepala bayi).
7) Telinga
dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.
Catatan : ibu menetap bayi dengan kasih sayang
8) Payudara
dipegang dengan ibu jari diatas dan jari lain menopang dibawah, jangan menekan
putting susu atau areola saja.
9) Bayi
diberi ransangan untuk membuka mulut (rooting reflek) dengan cara:
(a) Menyentuh
pipi dengan putting susu
(b) Menyentuh
sisi mulut bayi
10) Setelah
bayi membuka mulut, dengan cepat kepala bayi didekatkan ke payudara ibu dengan
putting susu serta areola dimasukan kemulut bayi:
(a)
Usahakan sebagaian areola dapat masukan kedalam
mulut bayi sehingga putting susu ibu berada dibawah langit- langit dan lidah
bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampung ASI yang terletak dibawah
areola.
(b)
Setelah bayi mulai menghisap payudara tak perlu
dipegang atau disanggah lagi.
11) Untuk
mengetahui bayi telah menyusui dengan teknik yang benar dan tepat. Dapat
dilihat :
(a)
Bayi tampak tenang
(b)
Badan bayi menempel dengan perut ibu
(c)
Mulut bayi membuka dengan lebar
(d)
Sebagain areola masuk kedalam mulut bayi
(e)
Bayi Nampak menghisap kuat dengan irama
perlahan
(f)
Putting susu ibu tidak terasa nyeri
(g)
Telinga dan lengan sejajar terletak pada garis
lurus
(h)
Kepala tidak menengadah
12) Melepaskan
isapan bayi
Setelah menyusui pada satu payudara sampai
kosong, sebaiknya ganti payudara yang lain. Cara melepaskan isapan bayi :
(a) Jari
kelingking ibu dimasukan kemulut bayi melalui sudut mulut.
(b) Dagu
bayi ditekan kebawah
Setelah selesai menyusui, ASI dikeluarkan
sedikit kemudian dioleskan pada putting susu dan areola sekitar. Biarkan kering
dengan sendirinya.
(Daftar tilik, AKBID ADILA)
13) Bagi ibu menyusui, dan
bayi tidak menetek, bantulah memerah air susu dengan tangan dan pompa, jika ibu
menyusui dan bayi mampu menetek, bantu ibu meneteki lebih sering pada kedua
payudara tiap kali meneteki, berikan penyuluhan cara meneteki yang baik.
Mengurangi sebelum menetek: berikan kompres hangat pada dada sebelum meneteki atau
mandi air hangat, pijat punggung dan leher, memeras susu secara manual sebelum
meneteki dan basahi putting susu agar bayi mudah menetek. Mengurangi nyeri
setelah meneteki: gunakan bebet atau kutang, kompres dingin pada dada untuk
mengurangi bengkak, terapi paresetamol 500 mg per oral.
c.
Bagi
ibu tidak menyusui, berikan
bebet atau kutang ketat, kompres dingin pada dada untuk mengurangi bengkak dan
nyeri, hindari pijat dan kompres hangat, berikan paresetamol 500 mg per oral,
evaluasi 3 hari. (Rukiyah dkk, 2010; h. 347 sampai 348)
5. Dampak
bendungan ASI
Statis pada
pembuluh limfe akan mengakibatkan tekanan intraduktal yang akan mempengaruhi
berbagai segmen pada payudara, sehingga tekanan seluruh payudara meningkat,
akibatnya payudara sering terasa penuh, tegang, dan nyeri (WHO), walaupun tidak
disertai dengan demam. Terlihat kalang payudara lebih lebar sehingga sukar
dihisap oleh bayi. Bendungan ASI yang tidak disusukan secara adekuat akhinya bisa
terjadi mastitis.(http://yuniochyrosiati.blogspot.com
C. MASTITIS
1.
Pengertian
Mastitis adalah infeksi pada payudara yang terjadi
pada 1- 2% wanita yang menyusui. Mastitis umum terjadi pada payudara satu
sampai lima minggu setelah melahirkan terutama pada primipara (Rukiyah dkk, 2010;
h. 350).
2.
Penyebab
Mastitis biasanya
disebabkan oleh infeksi staphylococcus aureus dan sumbatan saluran susu yang
berlanjut. Mastitis juga dapat disebabkan oleh payudara tidak disusukan secara
adekuat, putting susu lecet sehingga mudah masuk kuman, payudara bengkak,
penyanggah payudara yang terlalu ketat, ibu diet yang jelek, kurang iastirahat
sehingga anemia yang menimbulkan infeksi (Rukiyah dkk, 2010; h. 351).
3.
Tanda dan Gejala Mastitis
Tanda gejala
mastitis yaitu ditandai dengan rasa panas dan dingin disertai dengan kenaikan
suhu, penderita merasa lesu, tidak nafsu makan, penyebab staphylococcus aureus,
mamma membesar, nyeri pada suatu tempat kulit merah, membengkak sedikit, dan
nyeri pada perabaan.
Ada bengkak,
rasa nyeri pada payudara, kemerahan pada payudara, payudara keras dan merongkol,
suhu tubuh menigkat, infeksi terjadi satu sampai 3 minggu pasc persalinan
(Rukiyah dkk, 2010; h. 351).
4.
Pencegahan Mastitis
Perawatan
putting susu pada waktu laktasi merupakan usaha penting untuk mencegah mastitis
(Rukiyah dkk, 2010; h. 351).
5.
Penanganan Mastitis
Berikan
antibiotic antara lain yaitu Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari selama
10 hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10 hari. Bantu
ibu agar tetap meneteki, bebat payudara, kompres dingin sebelum meneteki untuk
mengurangi bengkak atau nyeri. Berikan parasetamol 500 mg per oral. Evaluasi 3
hari. Pencegahan dan penanganan umum oleh bidan hamper sama dengan bendungan
ASI (Rukiyah dkk, 2010; h. 352).
II.TINJAUAN
TEORI ASUHAN KEBIDANAN
1.
Pengertian
Manajemen asuhan kebidanan atau sering
disebut manajemen asuhan kebidanan adalah suatu metode berfikir dan bertindak
secara sistematis dan logis dalam memberi asuhan kebidanan, agar menguntungkan
kedua belah pihak baik klien maupun pemberi asuhan.
Manajemen kebidanan merupakan proses
pemecahan masalah yang digunakan sebgai metode untuk mengorganisasikan pikiran
dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, temuan-temuan, keterampilan, dalam
rangkaian tahap-tahap yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang berfokus
terhadap klien.
Manajemen
kebidanan diadaptasi dari sebuah konsep yang dikembangkan oleh Helen Varney
dalam buku Varney’s Midwifery, edisi ketiga tahun 1997, menggambarkan proses
manajemen asuhan kebidanan yang terdiri dari tujuh langkah yang berturut secara
sistematis dan siklik (Suryani, 2008; h. 96).
Varney menjelaskan bahwa proses pemecahan
masalah yang ditemukan oleh perawat dan bidan pada tahun 1970-an. Proses ini
memperkenalkan sebuah metode pengorganisasian pemikiran dan tindakan dengan urutan
yang logis dan menguntungkan baik bagi klien maupun bagi tenaga kesehatan.
Proses manajemen kebidanan ini terdiri dari tujuh langkah yang berurutan, dan
setiap langkah disempurnakan secara berkala. Proses dimulai dari pengumpulan
data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk
suau kerangka lengkap yang dapat diaplikasikan dalam situasi apapun. Akan
tetapi setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah-langkah yang lebih
detail dan ini bisa berubah sesuai dengan kebutuhan klien (Saminem, 2010; h.
39).
2.
Langkah dalam
manajemen kebidanan menurut Varney
I. Pengumpulan
data dasar (Pengkajian)
Pada
langkah pertama dikumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari semua
sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
Untuk
memperoleh data dilakukan dengan cara:
1) Anamnesa
Anamnesa
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu sebagai berikut:
a) Auto
anamnesa
Adalah
anamnesa yang dilakukan kepada pasien langsung. Jadi data yang diperoleh adalah
data primer, karena langsung dari sumbernya.
b) Allo
anamnesa
Adalah
anamnesa yang dilakukan pada keluarga pasien untuk memperoleh data pasien. Ini
dilakukan pada keadaan darurat, ketika pasien tidak memungkinkan lagi untuk
memberikan data yang akurat (Sulistyawati, 2009; h. 156).
Anamnesa
dilakukan untuk mendapatkan data anamnesa terdiri dari beberapa kelompok
penting sebagai berikut:
c) Identitas
pasien
(1) Nama
pasien dikaji agar tidak keliru dalam memberikan penanganan.
(2) Umur
pasien dikaji untuk mengetahui adanya resiko seperti kurang dari 20 tahun,
alat-alat reproduksi belum matang, mental dan psikisnya belum siap. Sedangkan
umur lebih dari 35 tahun rentan sekali untuk terjadi perdarahan dalam masa
nifas.
(3)
Agama pasien dikaji
untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut untuk membimbing atau mengarahkan
pasien dalam berdoa.
(4) Suku
pasien dikaji untuk mengetahui adat dan kebiasaan sehari- hari.
(5) Pendidikan
pasien dikaji karena berpengarauh terhadap tindakan kebidanan dan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat intelektualnya, sehingga bidan dapat memberikan
konseling sesuai dengan pendidikan.
(6) Pekerjaan
pasien dikaji untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial ekonominya, karena
ini juga mempengaruhi dalam gizi pasien tersebut.
(7) Alamat
pasien untuk mempermudah kunjungan rumah bila diperlukan.
d) Keluhan
utama dikaji untuk mengetahui masalah yang dihadapi yang berkaitan dengan masa
nifas, misalnya pasien merasa mulas, sakit pada jalan lahir karena adanya
jahitan pada perineum.
e) Riwayat
kesehatan
(1) Sekarang
Data-data ini di perlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang di derita pada saat ini yang ada
hubungannya dengan masa nifas dan bayinya.
(2) Yang
Lalu
Data yang di perlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya riwayat atau penyakit akut, kronis seperti:
Jantung, DM, Hipertensi, Asma yang dapat mempengaruhi pada masa nifas ini.
(3)
Keluarga
Data
ini di perlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga
terhadap gangguan kesehatan pasien dan bayinya, yaitu bila ada penyakit
keluarga yang menyertainya. (Ambarwati dkk, 2009; h. 133)
f) Riwayat
obstetric
(1) Riwayat
haid
Mempunyai gambaran tentang keadaan
dasar dari organ reproduksinya.
(a) Menarche
Usia pertama kali
mengalami menstruasi. Untuk wanita Indonesia pada usia sekitar 12 sampai 16
tahun.
(b)
Siklus
Jarak antara menstruasi
yang dialami dengan menstruasi berikutnya dalam hitungan hari, biasanya sekitar
23 sampai 32 hari.
(c) Volume
Data ini menjelaskan
seberapa banyak darah menstrusi yang di keluarkan.
(d) Keluhan
Beberapa wanita
menyampaikan keluhan yang di rasakan ketika mengalami menstruasi misalnya sakit
yang sangat, pening sampai pingsan,atau jumlah darah yang banyak (Sulistyawati,
2010; h. 226).
g) Pola
kebutuhan Sehari-hari
(1) Nutrisi
Ibu nifas membutuhkan nutrisi yang
cukup,gizi seimbang terutama kebutuhan protein dan karbohidrat.
(2) Eliminasi
Miksi di anggap normal bila dapat
BAK spontan tiap 3 sampai 4 jam post partum (Vivian dkk, 2011; h. 73).
(3) Istirahat
Ibu disarankan untuk beristirahat yang cukup untuk
mencegah kelelahan yang berlebihan dan menyarankan ibu untuk kembali ke
kegiatan kegiatan yang tidak berat (Vivian
dkk, 2011; h. 76).
(4) Personal
Hygine
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu
selalu menjaga kebersihan tubuh terutama pada daerah genetalia, karena pada
masa nifas masih mengeluarkan lokia.
(5) Aktivitas
Menggambarkan pola aktivitas pasien
sehari- hari. Pada pola ini perlu di kaji pengaruh aktivitas terhadap kesehatannya. Mobilisasi dini dapat mempercepat
proses pengembalian alat- alat reproduksi (Ambarwati dkk, 2009; h. 137).
2) Data Objektif
Data
ini di kumpukan guna melengkapi data untuk menegakkan diagnosis. Bidan
melakukan pengkajian data objektif melalui pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi dan
pemeriksaan penunjang yang di lakukan secara berurutan.
a)
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan yang dilakukan kepada
pasien sebagai berikut:
1) Keadaan
umum
Data ini dapat dengan mengamati
keadaan pasien secara keseluruhan, hasil
pengamatan yang di laporkan kriterianya baik atau lemah.
2) Kesadaran
Untuk mendapatkan gambaran tentang
kesadaran pasien,kita dapat melakukan pengkajian derajat kesadaran pasien dari
keadaan compos mentis sampai dengan koma (Sulistyawati, 2010; h.226).
3) Tinggi badan
Salah satu ukuran pertumbuhan
seseorang.
4) Berat badan
Massa tubuh di ukur dengan
pengukuran massa atau timbangan.
5) Tanda-tanda vital
(a) Tekanan
darah
Pada beberapa kasus di temukan
keadaan hipertensi post partum, tetapi keadaan ini akan menghilang dengan
sendirinya apabila tidak ada penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam 2
bulan pengobatan.
(b) Nadi
Berkisar antara 60 sampai 80x/menit
denyut nadi di atas 100x/menit pada masa nifas adalah mengindikasikan adanya
suatu infeksi, hal ini salah satunya bisa di akibatkan oleh proses persalinan
sulit atau karena kehilangan darah yang berlebih.
(c) Suhu
Peningkatan suhu badan mencapai
pada 24 jam pertama pada masa nifas pada umumnya di sebabkan oleh dehidrasi, yang disebabkan oleh keluarnya cairan
pada waktu melahirkan, selain
itu bisa juga di sebabkan karena istirahat dan tidur yang di perpanjang selama
awal persalinan.
(d) Pernafasan
Pernafasan harus berada dalam rentang
yang normal,yaitu sekitar 20 sampai 30 x/menit (Ambarwati dkk, 2009; h. 138
sampai 139).
b) Pemeriksaan
fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tanda-tanda vital, meliputi :
pemeriksaan khusus ( terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi)
dan pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium dan catatan terbaru serta catatan
sebelumnya (Soepardan, 2008; h. 97 sampai 98).
c) Pemeriksaan
fisik
Kepala : Bentuk
simetris atau tidak, keadaan rambut, kebersihan kepala, terdapat rasa nyeri atau
tidak
Muka : Terdapat
oedema atau tidak, kebersihan muka dan nyeri tekan atau tidak
Mata : Konjungtiva,
pupil, sklera, dan kebersihan mata
Telinga : Bentuk,
kebersihan telinga dan nyeri tekan pada telinga
Hidung : Kebersihan
hidung, dan terdapat pembesaran polip atau tidak
Mulut : Bibir,
gusi dan gigi, bau mulut, lidah
Leher : Bentuk
kulit, pembesaran kelenjar
Dada : Bentuk
dada, suara jantung, suara paru-paru, bentuk payudara, benjolan, nyeri tekan
Perut : Bekas
operasi, nyeri tekan, nyeri tekan, nyeri ketuk, bising usus ekstermitas, TFU
segera setelah persalinan, tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat, 12 jam
kemudian kembali 1 cm diatas pusat menurun kira-kira 1 cm setiap hari. Pada
hari kedua setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm dibawah pusat. Pada hari
ke 3-4 tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat. Pada hari ke 5 sampai 7 tinggi
fundus uteri setengah pusat simpisis. Pada hari ke 10 tinggi fundus uteri tidak
teraba ( Ambarwati dkk, 2009; h. 131).
Punggung : Nyeri
tekan, nyeri ketuk
Genetalia : Kebersihan,
pengeluaran, dan bau.
(Priharjo, 2007; h. 50 sampai 154).
Ekstermitas : Varices, oedema dan reflek patella (Ambarwati
dkk, 2009; h. 141).
d) Data
penunjang
Data ini didapatkan dari riwayat
persalinan sekarang, data ini dikaji karena untuk mengetahui apakah ibu selama
proses persalinan mengalami komplikasi atau tidak. Karena 24 jam pertama renta
terjadinya angka kematian ibu yang diakibatkan dari atonia uteri.
II. Interpretasi
data dasar
Pada langkah kedua dilakukan
identifikasi terhadap diagnosis atau masalah berdasarkan interpretasi yang
benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar tersebut kemudian
diinterpretasikan sehingga dapat dirumuskan masalah dan diagnosa yang spesifik.
Baik rumusan diagnosis maupun rumusan masalah keduanya harus ditangani,
meskipun masalah tidak bisa dikatakan sebagai diagnosis tetapi harus mendapatkan
penanganan (Suryani, 2008; h. 99).
1) Diagnosa
Kebidanan
Diagnosis dapat di tegakkan
berkaitan dengan para,abortus,anak hidup,umur ibu,dan keadaan nifas. (Ambarwati
dkk, 2009; h. 141).
Paritas adalah riwayat reproduksi seorang wanita yang berkaitan dengan primigravida (hamil yang pertama kali), dibedakan dengan multigravida (Sulistyawati, 2009; h. 191).
Paritas adalah riwayat reproduksi seorang wanita yang berkaitan dengan primigravida (hamil yang pertama kali), dibedakan dengan multigravida (Sulistyawati, 2009; h. 191).
2) Masalah
Permasalahan yang muncul berdasarkan pernyataan pasien (Ambarwati dkk, 2009; h. 141).
Permasalahan yang muncul berdasarkan pernyataan pasien (Ambarwati dkk, 2009; h. 141).
Masalah sering berhubungan dengan
bagaimana wanita itu mengalami kenyataan terhadap diagnosisnya.
(Sulistyawati, 2009; h. 192).
Hal-hal yang berkaitan dengan
pengamatan klien yang ditemukan dari hasil pengkajian atau yang menyertai
diagnosis (Hani dkk, 2010; h. 99).
3) Mengidentifikasi
kebutuhan
Dalam bagian ini bidan menentukan
kebutuhan pasien berdasarkan keadaan dan masalahnya. Masalah sering berhubungan
dengan bagaimana wanita itu mengalami kenyataan terhadap diagnosinya
(Sulistyawati, 2009; h. 192).
III. Identifikasi
diagnose atau masalah potensial
Pada
langkah ketiga ini mengidentifikasikan masalah potensial berdasarkan diagnosa
atau masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi bila
memungkinkan dilakukan pencegahan (Soepardan, 2008; h. 99). Menurut Saleha (2009; h. 109) bendungan ASI yang tidak disusukan secara adekuat akhinya
bisa
terjadi mastitis.
IV. Tindakan
segera
Tindakan segara untuk bendungan ASI
adalah perawatan payudara dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi rasa sakit
pada payudara dengan berikan kompres dingin dan hangat dengan handuk secara
bergantian kiri dan kanan. Lalu berikan kompres sebelum menyusui bayi agar
memudahkan bayi dalam menghisap dan menangkap putting susu. Untuk mengurangi
bendungan di vena dan pembuluh getah bening dalam payudara lakukan pengurutan
yang dimulai dari puting kearah kopus mamae. Ibu harus rileks, dan dipijat
leher dan punggung belakang (Rukiyah dkk, 2010; h. 347).
V. Merencanakan
asuhan
Pada
langkah ini direncanakan asuhan yang menyuluh ditentukan oleh langkah
sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen kebidanan terhadap diagnosa
atau masalah yang telah didentifikasikan atau di antisipasi. Pada langkah ini
informasi data yang tida lengkap dilengkapi (Soepardan, 2008; h. 99).
Perencanaan
asuhan kebidanan yang dapat dilakukan dalam 6 hari post partum adalah
1. Memastikan
involusi uterus berjalan normal
seperti uterus berkontraksi, funus dibawah umbilicus
2. Tidak
ada perdarahan abnormal dan
tidak berbau.
3. Menilai
adanya tanda-tanda demam, infeks, atau perdarahan abnormal.
4. Memastikan
ibu mendapatkan cukup makanan, cairan, dan istirahat.
5. Memastikan
ibu menyusui dengan baik dan tidak mmperlihatkan tanda tanda penyulit.
6. Memberikan
konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap
hangat, dan merawat bayi sehari-hari (Sulistyawati, 2009; h. 6).
Perencanaan
asuhan kebidanan ibu nifas dengan bendungan ASI yang dilakukan adalah :
1.
Beritahu ibu hasil pemeriksaan keadaan
ibu dan hasil pemeriksaan fisik ibu.
2.
Berikan penjelasan kepada ibu tentang
masalah bahwa ibu mengalami bendungan ASI.
3.
Lakukan penanganan pada ibu dengan
bendungan ASI.
4.
Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk
melihat apakah keadaan membaik atau tidak.
5.
Dokumentasikan hasil pemeriksaan dan
asuhan yang diberikan (Rukiyah dkk, 2010; h. 349).
VI. Pelaksanaan
Langkah
ini merupakn pelaksanaan rencana asuhan penyuluhan pada klien dan keluarga.
Mengarahkan dan melaksanakan rencana asuhan secara efesien dan aman (Hidayat dkk,
2009; h. 79).
VII. Evaluasi
Dalam
langkah ini dilakukan evaluasi keefektivan dari asuhan yang sudah diberikan
meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar terpenuhi sesuai
dngan kebutuhan sebagimana telah diidentifikasi dalam masalah dan diagnosa.
Manajemen
kebidanan merupakan suatu kontinu maka perlu mengulang kembali dari awal setiap
asuhan yang tidak efektif melalui proses manajemen untuk mengidentifikasi
mengapa proses manajemen tidak efektif serta malakukan penyesuaian pada rencana
asuhan berikutnya (Hidayat dkk, 2009; h. 79).
III.
LANDASAN HUKUM KEWENANGAN BIDAN
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
A.
Kewenangan normal:
1. Pelayanan
kesehatan ibu
2. Pelayanan
kesehatan anak
3.
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
dan keluarga berencana
B.
Kewenangan dalam menjalankan program
Pemerintah
C.
Kewenangan bidan yang menjalankan
praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.
Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki
oleh seluruh bidan. Kewenangan ini meliputi:
1.
Pelayanan kesehatan ibu
a.
Ruang lingkup:
1)
Pelayanan ibu nifas normal
Table
2. 1
Program
Masa Nifas
Kunjungan
|
Waktu
|
Tujuan
|
1
|
6-8 jam setelah persalinan
|
1.
Pencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
2.
Mendeteksi dan merawat penyebab lain
prdarahan;rujuk jika perdarahan berlanjut.
3.
Memberikan konseling pada ibu atau salah satu
anggota keluarga mengenai bagaimana cara mencegah perdarahan masa nifas
karena atonia uteri.
4.
Pemberian ASI awal
5.
Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
6.
Menjaga bayi agar tetap sehat dengan cara mencegah
hypotermi
7.
Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia
harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir selama 2 jam pertama setelah
klahiran atau sampai ibu dan bayinya dalam keadaan stabil.
|
2
|
6 hari setelah persalinan
|
1.
Memastikan involusi
uterus berjalan normal:uterus berkontraksi, funus dibawah umbilicus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau.
2.
Menilai adanya tanda-tanda demam,infeks, atau
perdarahan abnormal.
3.
Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan,
dan istirahat.
4.
Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak
mmperlihatkan tanda tanda penyulit.
5.
Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada
bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat, dan merawat bayi sehari-hari.
|
3
|
2 minggu setelah prsalinan
|
Sama seperti diatas
|
4
|
6 minggu setelah persalinan
|
1.
Menanyakan pada ibu tentang kesulitan-kesulitan
yang ia atau bayinya alami.
2.
Memberikan konseling Kb secara dini
|
Sumber:
Sulistyawati, 2009; h. 6)
b.
Kewenangan:
1)
Pemberian vitamin A dosis tinggi pada
ibu nifas
c.
Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu
dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
Selain itu, khusus di daerah
(kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan
kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
atau Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah
tersebut sudah terdapat tenaga dokter.
(http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/archives/171)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar